Kembali Mencuat Wacana Pemisahan Kebudayaan Dari DISPARBUD Jawa Barat

Prabu PROGRAM, SOSIAL367 Dilihat

Bandung, Prabunews.com – Ada dua alasan kuat apabila penanganan kebudayaan harus dipisahkan dari Dinas Kepariwisataan. Pertama, pemahaman kebudayaan yang selama ini ada di kalangan birokrat cenderung sempit, karena yang dimaksud kebudayaan hanya soal kesenian saja.

Jika merujuk pada pandangan Koentjaraningrat (1990), kebudayaan itu memiliki tujuh unsur sub system dan kesenian atau seni adalah salah satu sub sistemnya.

Apabila dikaitkan dengan pandangan Max Weber (1994), kebudayaan itu sangat luas karena menyangkut system nilai,kepercayaan dan pandangan hidup.

Didalam istilah asing dikenal dengan sebutan “culture” (sistem nilai dan sistem kepercayaan) atau “civilization” (pandangan hidup dan peradaban).

Jadi kebudayaan itu sangat luas dan bisa jadi sebagai alat kontrol dari peradaban (karena nilai hubungannya dengan norma) dianggap kecil, sehingga jelas perkeliruan penanganannya dilakukan berulang-ulang.

Di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (DISPARBUD) Jawa Barat sendiri hanya sebatas bidang, sehingga sangat jauh dari arti kebudayaan yang sesungguhnya.

Demikian Pemerhati Seni Tradisi, Suhendi Apriyanto, menanggapi mencuatnya kembali wacana pemisahan kebudayaan dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, yang setelah beberapa tahun tenggelam, minggu (7/6/2020).

Suhendi Apriyanto yang juga sebagai Wakil Rektor Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung menjelaskan, tak heran jika aspek kebudayaan hanya dijadikan komoditi penunjang kegiatan pariwisata.

“ Pengkerdilan ini diperparah dengan butanya pemetaan tentang kebudayaan, yang seharusnya sebagai sumber  peradaban serta perubahan masyarakatnya (dulu sampai sekarang). Dengan ketidak-mampuan membaca kebudayaan secara ansih, jelas dinas tersebut dapat dipastikan ‘tidak pernah’ menangani persoalan kebudayaan secara benar,” jelas Suhendi.

Ke dua, dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, menurut Suhendi, sudah jelas bahwa aspek dominan kebudayaan itu harus ditangani secara serius dan berkesinambungan. Orientasi UU tersebut tertuju kepada 4 pilar, yaitu: (1) perlindungan, (2) pengembangan, (3) pemanfaatan dan (4) pembinaan.

Sedangkan kegiatan pariwisata hanya satu pilar, yaitu kegiatan pemanfaatan, sementara yang lainnya adalah domain kegiatan kebudayaan. ” Harus diingat, itu amanat Undang-Undang, jika tidak dipisahkan, ada kekhawatiran pelanggaran terhadap amanat undang-undang tersebut berekses pada persoalan hukum, atau bisa ada class action dari masyarakat. Apalagi pejabat setingkat kepala dinas saja tidak faham tugasnya, akan lebih repot,” jelasnya lagi.

Sementara Koreografer seni tradisi, Mas Nanu Muda, akrab disapa Bah Nanu mengatakan, adanya pemisahan Dinas Kebudayaan dengan Pariwisata, bisa jadi semua unsur yang terkait dengan kebudayaan terakomodir, baik yang berkaitan dengan kebudayaan sebagai konsep,gagasan / ide / sistem budaya / wujud gagasan (nilai-nilai budaya, Filosofi).

Kemudian sistem budaya yang berkaitan dengan aktivitas, yaitu potensi lokal budaya yang berkaitan dengan fungsi seni ritual atau sakral (adat istiadat), hiburan dan seni Pertunjukan. Sedangkan sistem budaya yang berkaitan dengan wujud fisik, seperti nilai-nilai peninggalan berupa artefak, situs dsbnya.

“Adanya Dinas Kebudayaan berarti ada pengelompokan pemetaan kebudayaan, yaitu kebudayaan yang berkaitan dengan nilai-nilai lama (buhun/resibioculture), kebudayaan yang berkaitan dengan nilai kebudayaan dominan (budaya dominan/dominan culture), serta kebudayaan yang berkaitan dengan nilai-nilai baru (nilai-nilai budaya baru/enerzingculture),” jelas Nanu, Minggu (7/6/2020).

Menurut Bah Nanu, Dinas Kabudayaan harusnya merangkum tujuh unsur kebudayaan yang telah dikonsep  Koentjaraningrat, kemudian dirumuskan kembali, termasuk didalamnya kesenian yang menjadi modal dasar ciri khas dan ungkapan keragaman kebudayaan daerah Jawa Barat.

(Mz)