Memikat Para Pemirsa, Hari kedua Bandung West Java Arts Festival Tampilkan Tarian-Tarian Bermakna

Prabunews.com – Hari kedua tepatnya pada Sabtu (29/10), Bandung West Java Art Festival kembali diisi dengan tari-tarian.

Bertempat di Taman Budaya, tarian itu dibawakan orang-orang dewasa bahkan gadis-gadis kecil yang berbakat dari berbagai daerah di Jawa Barat.

Program Director Tong Tong Fair, Arnaud Kokosky Deforchaux menyampaikan kekagumannya terhadap penampilan yang ada di Bandung West Java Arts Festival.

“Saya menyukai semua penari, tetapi secara khusus, saya kagum dengan penampilan yang akrobatik dan harmonis dengan ketukan nada musik pengiring oleh Nabila Intania Putri dari sanggar Putri Ayu. Ia sukses memenuhi panggung dengan auranya yang luar biasa,” ujarnya.

Yang mencolok lagi dalam hari kedua BWJAF ini ialah kerjasama antara penari Gita Kinanthi dan para musisi Kalimantan.

Dengan kepala yang terbungkus selendang putih panjang, Gita sukses membawakan penampilan yang terinspirasi dari tarian tradisional Kalimantan itu.

“Bahkan tanpa memakai sepasang sayap burung, saya bisa hampir percaya bahwa dia memang seekor burung,” ucap Arnaud.

Kemudian penari Rithaudin Abdul Kadir dari Malaysia serta maestro kecapi Dody Satya Ekagustdiman dari Bandung, penampilannya memang tidak diragukan lagi, pasti memikat.

“Bagaimana saya melihat dua generasi berkarya bersama-sama. Yang muda, Rithaudin, rasa penasaran dan jiwa eksploratif yang masih tinggi dengan fokus ke banyak arah. Yang tua, Dody, tenang dengan penuh pengetahuan, yang diperoleh dari tahun ke tahun,” terang Arnaud.

“Itu yang saya tangkap dari ekspresi penampilan mereka. Seorang wanita di antara penonton, ketakutan terhadap penampilan tersebut, seperti melihat dua hantu. Seni memang bisa dimaknai dengan banyak cara,” Ia melanjutkan.

Selanjutnya, sebuah tarian yang ringan dan ceria dibawakan dengan indah oleh penari Cristina Duque dari Ekuador.

Di sela tarian ia menyanyikan nyanyian yang terdengar ringan, seringan merpati terbang. Dia seolah terbang di atas panggung, membawakan campuran budaya dari negerinya ke penonton yang bereaksi dengan tepuk tangan hangat.

“Tapi yang paling saya kagumi adalah Tari Topeng karya Sanggar Seni Asem Gede (Indramayu), gerakan berulang-ulang para penari berkostum merah hampir membuat saya kesurupan,” kata Arnaud.

Pertunjukan itu, lanjutnya, mengingatkan pada minimal dance dari koreografer yang tinggal di Belanda. Yakni Krisztina de Châtel, yang karyanya juga bisa membuat nya seperti kesurupan.

“Yang saya saksikan di Indonesia kemarin, tarian itu diiringi musik yang berulang-ulang terasa seperti sebuah penghormatan besar kepada Yang Maha Kuasa di atas kita,” ujar Arnaud.

Ia kemudian menceritakan bagaimana tarian yang ditampilkan tersebut bisa mengingatkannya pada asal muasal seni.

“Saya teringat kembali asal mula seni. Seni pada awalnya adalah cara untuk mengekspresikan diri dan menghormati orang-orang yang dapat kita lihat di antara penonton, tetapi yang lebih penting adalah yang tidak dapat kita lihat,” terangnya.

“Berada di tanah leluhur, saya mengucapkan terima kasih kepada penyelenggara Bandung West Java Arts Festival dan semua penari serta pemusik atas kesempatan untuk bergabung yang diberikan kepada saya,” pungkas Arnaud.