Hikmah Tersembunyi
Wabah Corona dan Pembelajaran Jarak Jauh
Oleh : Syabar Suwardiman, M. Kom
Kepala Bidang Akademik Yayasan Bina Bangsa Sejahtera Bogor
Corona menjadi istimewa, sesuai namanya yang berasal dari kata crown (mahkota), karena bentuknya yang seperti mahkota. Tetapi mahkota yang ini adalah termasuk yang dihindari semua orang. Corona sudah menjadi pandemi global. Pandemi berasal dari bahasa Yunani, pan artinya luas, demi atau demos artinya orang. Dikatakan pandemi karena jangkauannya sudah antarbenua. Beberapa negara sudah memberlakukan lockdown, mengunci diri, melarang orang luar untuk masuk dan sekaligus melarang orang untuk keluar. Untuk keluar rumah orang harus menunjukkan ijin dari pemegang otoritas. seperti di Italia orang yang membangkang akan didenda atau bahkan hukuman penjara dengan tuduhan membahayakan orang lain, ikut menularkan penyakit.
Di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa semuanya mengambil sikap sama, yaitu membatasi pergerakan orang. Istilah, social distancing, work from home menjadi istilah yang populer. Kebijakan meliburkan sekolah adalah dalam upaya membatasi pergerakan orang agar penularan tidak menjadi lebih massif. Tulisan ini berupaya untuk melihat hikmah wabah corona terhadap proses pembelajaran jarak jauh selama para siswa berada di rumah.
Saatnya Berubah
Serangan corona sudah ditetapkan menjadi kejadian luar biasa. Jumlah yang positif corona terus meningkat termasuk juga yang meninggal karena terpapar corona. Kejadian ini mengingatkan kita tidak ada yang tetap dalam kehidupan ini, semua berubah. Baik perubahan itu direncanakan atau dipaksa oleh keadaan. Corona adalah faktor eksternal yang memaksa semua berubah atau mengubah perilaku diri. Dalam ilmu sosial perubahan itulah yang abadi, perubahan adalah keniscayaan.
Dalam sejarah “sekolah berdinding” yang menjadi tonggak peradaban sebagai akibat dari revolusi industri awal, yang membutuhkan banyak orang untuk bekerja sesuai bidangnya. Sekarang revolusinya sudah 4.0, perubahan yang begitu cepat ditandai dengan kecerdasan buatan atau dikenal dengan Artificial Intelegent. Harusnya paradigma belajar yang dibatasi dinding sudah harus berubah atau setidaknya proses pembelajarannya yang berubah, mudah-mudahan inilah yang dimaksud dengan merdeka belajar.
Berbagai aplikasi pembelajaran baik yang berbayar atau pun yang gratis saat ini sangat banyak sekali. Aplikasi tadi menawarkan berbagai keunggulan, tinggal kita pandai untuk memilihnya. Lima aplikasi gratis yang sedang dan sudah populer yaitu : Sevima Edlink, Moodle, Google Class, Edmodo dan Schoology. Untuk yang berbayar untuk sekolah biasanya banyak yang datang menawarkan paket komplit dengan penilaian kompetensi sikap bahkan sampai pencetakan rapornya.
Semua kemudahan itu tidak berarti apa-apa ketika kita manusianya tidak mau berubah. Ternyata salah satu hambatan terbesar justru datang dari gurunya sendiri. Ketika sekolah akan menerapkan e-learning maka yang pertama kali harus dilatih dan diubah adalah para gurunya. Itu yang dinyatakan oleh Obert Hoseanto, Senior Education Program Manager Microsoft Indonesia, yang sebelum bekerja di Microsoft adalah seorang guru dan juga pernah menjadi kepala sekolah. Pelatihan untuk mengubah perilaku guru dalam era disruptif dalam menguasai teknologi pembelajaran harus benar-benar sampai mahir/cakap. Awal pelatihan memang akan membutuhkan biaya tetapi efisiensinya akan berlipat, salah satu contohnya akan mengurangi penggunaan kertas dan berarti mendukung go-green.
Kondisi Saat Ini dan Solusinya
Perubahan yang dipaksa memang akan membuat banyak orang mengalami shock-culture, apalagi sebagian masyarakat kita belum terbiasa dengan penggunaan teknologi yang ada saat ini. Hal ini tergambar dari berbagai indikator ungkapan masyarakat ketika pemerintah meliburkan sekolah untuk mencegah penularan Covid 19. Bahkan KPAI sampai mengeluarkan pernyataan yang menyatakan bahwa anak-anak mengalami stress karena ketika mereka dipaksa dirumahkan karena semua guru memberikan tugas. Orang tua juga menyampaikan hal sama, apalagi ketika memiliki lebih dari 1 anak yang dirumahkan. Tanggapan-tanggapan yang bersifat jokes pun banyak bermunculan, ada anak yang merasa ibunya lebih galak daripada guru, ada guru yang membuat tiktok mengajar kelas kosong dan banyak lagi yang lainnya.
Bagaimana ini bisa terjadi? Dugaan awal adalah sebagian besar guru mengejar target konten materi pembelajaran kalau dalam minggu ini misalnya ada 2 bab yang harus diselesaikan maka itulah yang ditugaskan kepada anak-anak. Kalau sikap guru seperti itu, dengan mata pelajaran di sistem pendidikan Indonesia yang banyak bisa dibayangkan seperti apa anak-anak kita di rumah.
Saat ini kita harus berpikir out the box, karena ini adalah kejadian luar biasa. Bagi orang tua saatnya untuk menjadi guru terbaik. Kalau ada permasalahan yang harus diselesaikan saatnya untuk memecahkan bersama dengan anak-anak. Bisa googling bersama-sama, bertanya kepada gurunya, sediakan waktu khusus. Memang disadari juga tidak semua orang tua dirumahkan seperti anak-anaknya.
Jauh lebih penting dari semua itu adalah sekolah harus berani mengubah banyak hal terkait dengan proses belajar, jangan semata-mata target konten. Saatnya membuat proyek bersifat antardisplin, misalnya anak-anak membuat tugas video gerakan hidup sehat, maka dalam satu content video, kita sudah mengajarkan pelajaran biologi, menghargai orang lain untuk hidup bersih, dan secara tidak langsung mengajarkan pekerjaan masa depan, yaitu bisa sebagai content director, kalau diupload di youtube sekaligus bisa jadi youtuber. Bisa juga misalnya menugaskan analisis konten video di youtube, ajukan pertanyaan misalnya mengapa Indonesia belum melakukan kebijakan lockdown, maka secara antardisiplin ilmu akan mengajarkan perbandingan antarnegara, kajian ekonomi dan juga akibat sosial.
Jangan sampai jargon, didiklah anak-anakmu untuk masa depan, padahal masa depan penuh dengan uncertain (ketidakpastian), volatile (berubah sangat cepat, mudah menguap) hanya jadi jargon semata tanpa kita siapkan anak-anak untuk mengahadapi masa depannya.